Lets Search!

Facebook Connect


Band of Brothers


Nidji merilis album ketiga yang penuh dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Melbourne yang dingin merasakan kehangatan mereka untuk pertama kalinya.


Huh...huh...huh...”
Giring Ganesha Djumaryo terengah--engah di kamar hotel itu.
“Seperti sedang bercinta saja,” kata saya.
“Nah, apalagi kalau lagi begitu,” balasnya seraya tertawa.

Walaupun dia melakukan kegiatan yang dicintainya, dia tak sedang bercinta. Melbourne, Australia, Rabu, 23 September 2009, kira-kira pukul tujuh malam waktu setempat, salah satu hal yang ditanya Giring ketika tiba di hotel itu adalah ketersediaan gymnasium di sana. Sudah setahun terakhir ini Giring rajin ke gym untuk berolah raga. Pundaknya tegap. Otot bisepnya yang membesar adalah bukti yang mudah terlihat dari hasil olah raganya. Vokalis Nidji itu merasa harus terus membakar lemak di tubuhnya karena dia merasa tubuhnya cepat sekali gemuk. Maka, ketika pergi ke negeri orang pun dia membawa bekal peralatan bantu push up, untuk berjaga-jaga jika tak ada gym di hotel — seperti yang terjadi hari itu. Dua tangannya bertumpu pada dua alat itu, sedangkan kakinya bertumpu pada kursi demi hasil yang maksimal. Kami baru saja akan pergi ke luar hotel untuk makan minum dan merasakan suasana Melbourne di malam hari — dan Giring meminta waktu sebentar untuk melakukan ritual membakar lemaknya. Kawan-kawannya yang lain: gitaris Andi Ariel Harsyah Azhar, gitaris Muhammad Ramadhista Akbar, kibordis Randy Danistha, bassis Mochamad Andro Regantoro, dan drummer Mochamad Adri Prakarsa mengingatkan saya soal Giring yang akan push up, sebelum saya akhirnya menyaksikan langsung kebenaran ucapan mereka.
“Kalau gue mah nggak akan mau diajak ke gym. Suruh pelatihnya banting gue deh. Kalau dia bisa banting gue, baru gue mau ikutan latihan fitness,” kata Adri ketika kami membicarakan soal kenapa yang lain tak meng-ikuti jejak Giring.

Hari ketiga setelah lebaran, dan Nidji sudah ada di Melbourne. Para mahasiswa Deakin University anggota Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) mengundang mereka tampil di sana. PPIA memberi tugas kepada para anggotanya untuk menggelar konser dan mengundang kelompok musik dari Indonesia. Mahasiswa Deakin memilih Nidji dan RAN, karena menurut mereka dua nama itu punya daya tarik yang cukup besar bagi para mahasiswa Indonesia di Melbourne. Biasanya, beberapa hari se-telah lebaran para personel Nidji berkumpul di rumah Andro dan bersilaturahmi dengan keluarganya. Rumah Andro punya peranan penting dalam perjalanan Nidji, karena di sanalah mereka berkumpul untuk pertama kalinya. Beberapa tahun ke belakang, setiap mereka pergi keluar kota, ibu Andro selalu membuatkan telur untuk mereka.

Ini kunjungan pertama Nidji ke Australia, tapi bukan kunjungan mereka yang pertama ke luar negeri. Tahun 2005, tak lama sete-lah Nidji merilis album perdana Breakthru’, mereka pergi ke Malaysia untuk melakukan kegiatan promosi album. Orangtua mereka mengantar ke bandara, untuk melepas kepergian anak-anak itu dalam rangka — menurut istilah Giring — usaha pertama mereka untuk menaklukkan Malaysia. “Mainnya cuma sekali, sisanya promo, pakai maen bola di stadion bola lawan penyiar Malaysia. Gue jatuh di lapangan, dipermalukan, lalu menangis karena kangen rumah,” kata Giring mengenang kejadian itu.

Hingga kini rasa kangen rumah itu masih ada, dan setiap masa promo album masih terasa berat karena bagi mereka, semua harus maksimal dan tak bisa dijalankan se-tengah hati. Tapi Nidji yang sekarang sudah tak diantar orangtuanya ke bandara. Tiga orang dari mereka: Adri, Rama, dan Ariel kini sudah berkeluarga. Dan pernikahan malah membuat mereka lebih bersemangat. Rama, yang biasanya datang ke bandara dengan wajah tak enak, kini selalu datang dengan senyum lebar dan wajah yang lebih segar — dia bahkan mengatakan pernikah-an membuat kreativitasnya lebih keluar. “Tambah semangat iya, menyenangkan sih, merasa lebih bertanggung jawab. Jadi ada alasan lebih untuk sesuatu yang diperjuangkan. Elo kerja jadi bukan buat diri sendiri saja,” tambah Ariel. Dia masih bisa dibilang pengantin baru. Pernikahannya dengan Dhea Ananda — mantan penyanyi cilik yang pernah punya hits bersama Trio Kwek Kwek menyanyikan, “Australia negeri wuul...katanya...katanya!” — sempat digosipkan oleh para pekerja infotainment, bahwa mereka menikah karena Dhea hamil. Padahal, kata Giring, dia dan kawan-kawannya di Nidji tahu benar bagaimana Ariel selama beberapa bulan sebelum menikah pontang-panting mengurus persiapan pernikahan yang dituduh banyak orang terjadi mendadak itu.

Ariel termasuk yang paling pendiam jika dibanding kawan-kawannya — setidaknya begitu kesan yang saya tangkap selama tiga hari bersama Nidji. Ketika kami di sana, Ariel sedang asyik mendokumentasikan perjalanan mereka melalui kamera digitalnya. Sebagai gitaris, Ariel mengatakan paling senang meng-utak-atik sound gitarnya sebagai salah satu sarana menghilangkan kejenuhan di panggung. Andro — yang sekilas penampak-annya mirip Badai, kibordis Kerispatih, tak terlalu pendiam, hanya saja dia bisa beberapa kali gonta-ganti pakaian sebelum akhirnya memilih yang dianggapnya cocok untuk naik ke atas panggung. Rama juga sedang asyik ber-eksperimen dengan kamera digital. Itu, kata dia, juga salah satu sarana untuk mendatangkan kesegaran di sela-sela jadwal manggung yang padat. Adri menye-nangi udara dingin. Suhu Melbourne yang berada di kisaran 11 hingga 13 derajat Celcius — seperti cuaca di kawasan Puncak Bogor, atau Pangalengan Bandung di malam hari — dan menusuk badan, tak mengganggu Adri karena selama di sana, dia hanya mengenakan kaos dan vest. Randy yang paling liar — dia punya dua tato kecil di lengannya — dan sepertinya paling senang berkeliling diban-ding yang lain. Ketika kawan-kawannya memilih berangkat tanggal 23, Randy memilih berangkat sehari sebelumnya bersama rombongan kru, manajemen, dan rombongan RAN. Giring adalah yang pa-ling ekspresif di antara semuanya. Tak hanya di panggung dan di lirik lagu, di kese-harian pun Gi-ring Ganesha adalah se-seorang yang pandai berkata-kata dan se-pertinya bisa membuat hati perempuan lemas mendengar betapa ma-nisnya ucapan dia. Setiap kali dia mene-lepon kekasihnya, Giring selalu menyapanya de-ngan “Cin cin...” yang sepertinya panggilan mesra untuk nama Cynthia Riza. Tanpa ragu-ragu, Giring menghujani kekasihnya dengan kata rindu, kangen, sayang, dan kalimat-kalimat yang intonasinya bisa menyejukkan hati perempuan dan bisa dengan mudah membuat siapapun yang ada di dekat Giring ketika pembicaraan itu berlangsung tahu bahwa dia menyayangi perempuan di seberang telepon itu dan bahwa Giring Ganesha sedang jatuh cinta.

Kata Giring, hubungan para personel Nidji kini sudah seperti kakak beradik. Dulu, jika ada persoalan di antara sesamanya, cara mereka menyampaikan pendapatnya benar-benar frontal. Sekarang, pola komunikasi itu menjadi lebih sopan, layaknya berbicara kepada saudara. Itu, katanya, demi mendapat yang terbaik buat semuanya. Tapi bicara soal semuanya, tak semua personel Nidji mempunyai daya tarik yang sama. Karena kata mereka, hanya Giring dan Randy yang level penarik perhatiannya ada di level sepuluh. “Baru keluar sedikit, sudah dikerubungi... Istilahnya lalat,” kata Adri yang merasa dirinya ada di level satu soal daya tarik bagi publik. Itu sebabnya ketika Nidji harus manggung di luar kota, Giring hampir tak pernah keluar kamar hotel selain untuk keperluan manggung. Yang melelahkan dari menjadi magnet publik, kata Giring, karena kadang dirinya dianggap seperti properti untuk keperluan foto. Tak jarang permin-taan itu dilontarkan orang-orang di saat para per-sonel Nidji sedang makan. “Harus selalu look nice, act nice kan capek juga,” katanya. Kini, Giring sudah bisa menolak permintaan foto atau tanda tangan dari orang-orang yang mengerubungi-nya jika memang permintaan itu malah akan membuatnya tertinggal dari kawan-kawannya dalam perjalanan. “Tapi gue pasti minta maaf karena harus buru-buru. Kalau ada yang nyebelin banget, seperti menjambak, barulah gue marah,” katanya.

Dan datang ke Melbourne, di mana tak banyak orang yang mengenal sosoknya, membuat Nidji bisa bebas berkeliaran di jalanan tanpa harus dicegat orang-orang yang meminta tanda tangan atau berfoto bareng. Kejadian seperti itu baru terjadi di rumah makan Indonesia tempat kami makan, di mana pengelola rumah makan me-minta foto bareng dan meminta Nidji menulis sesuatu di kanvas kosong untuk dijadikan memorabilia, yang mungkin dianggapnya bisa meningkatkan kredibilitas rumah makan — sesuatu yang sering dilakukan pe-ngelola rumah makan di Indonesia.
Rabu malam itu, kami berkumpul di sebuah kafe di kawasan yang lebih banyak dikunjungi orang-orang Italia. Rasanya agak sulit membayangkan personel Nidji berkumpul di kafe pinggir jalan di Indonesia tanpa menarik perhatian orang-orang yang lewat. Randy belum bergabung dengan kami, ka-rena dia yang tiba lebih dulu di Melbourne memutuskan untuk langsung jalan-jalan bersama mahasiswa Deakin yang sejak siang menemani kami. Ketika saya berbasa-basi sebentar sekaligus pemanasan pembuka pembicaraan dalam rangka wawancara dan bertanya soal suasana lebaran di rumah keluarga masing-masing, Giring malah tertawa mendengar pertanyaan itu. “Kapan perta-nyaan soal albumnya nih?” katanya.

Saya menangkap kesan bahwa dia ingin segera menceritakan semua soal album terbaru mereka, Let’s Play. Workshop untuk menggarap album ini dilakukan berkali-kali tanpa terganggu jadwal manggung. Ini adalah album yang mereka anggap di mana suasana kebersamaan sangat terasa. Semua personel duduk bersama dan terlibat di seluruh lagu, dari mulai nol — ini dianggap Giring sebagai salah satu momen terbaik dalam pembuatan album ini. Semua instrumen dipikirkan baik-baik oleh semuanya. Ini sesuatu yang belum pernah mereka lakukan. Berbeda dengan pembuatan album sebelumnya, Top Up (2007) yang terburu-buru (mereka membuat lagu di sela-sela jadwal panggung yang padat, bahkan sampai membuat lagu di dalam bis tur), album Let’s Play digarap dengan santai. “Album ini dibuat dengan suasana yang menyenangkan, karena kami main musik se-perti zaman dulu waktu bikin demo, sebelum Breakthru’. Kami berenam nggak mengejar apa-apa. Ya alhamdulillah Nidji sudah di posisi yang seperti ini, sekarang kami maunya bikin musik saja,” kata Giring. Album ketiga mereka diproduseri oleh dua produser andal Musica Studio’s: Noey dan Capung Java Jive yang telah berhasil membuat album-album dari Musica meraih kesuksesan komersial maupun peng-akuan dari sisi musikal. Tapi bukan hanya dua orang itu yang dianggap sangat membantu Nidji dalam proses rekam-an album terbaru mereka. Indrawati Widjaja selaku produser eksekutif album ini dianggap Nidji punya insting yang bagus dalam menentukan sebuah lagu yang dijadikan single. Lagu “Sang Mantan” yang tadinya tak dijadikan lagu jagoan malah dipilih Indrawati Widjaja sebagai single pertama.

Selanjutnya baca aja di Rolling Stones Magazine Edisi 55

No comments: